Malioboro merupakan sebuah kawasan jalan yang paling terkenal dan menjadi icon pariwisata di Yogyakarta. Pada awalnya, Malioboro digunakan sebagai jalan seremonial bagi Sultan Yogya untuk perjalanan dari dan menuju komplek Keraton. Beberapa literatur mengatakan bahwa nama "Malioboro" berasal dari nama gubernur Inggris Marlborough dari era ketika Inggris memerintah di Nusantara, antara tahun 1811-1816 (Prayogo, 2016). Bagi masyarakat Yogyakarta, sepanjang kawasan jalan ini menjadi salah satu urat nadi utama perekonomian masyarakat. Malioboro merupakan komponen penting dari identitas kota terutama berkaitan dengan upaya membangun suasana budaya di Yogyakarta (Septirina, 2016). Berbagai kegiatan berbasis pada kebudayaan selalu digelar di kawasan ini.
Perkembangan perekonomian di masa sekarang menunjukkan bahwa Malioboro menjadi pusat kawasan wisata terbesar di Yogyakarta yang dikelilingi oleh banyak restoran, penginapan baik yang bintang maupun non bintang, serta toko-toko yang menjual barang kebutuhan masyarakat. Trotoar di kedua sisi jalan Malioboro pun sangat ramai dengan kios-kios kecil yang menjual berbagai barang-barang kerajinan. Pada malam hari beberapa restoran sisi jalan (biasanya disebut lesehan) beroperasi di sepanjang jalan.
Banyak musisi dan seniman jalanan, pelukis, dan maestro seni lainnya memamerkan kreasi mereka di jalan ini. Bagi wisatawan yang sedang berkunjung di Malioboro tentu saja ini merupakan sajian atraksi wisata yang luar biasa. Mereka tidak hanya menikmati suasana malam yang romantis, namun bisa menikmati sajian makanan – makanan lokal sembari ditemani alunan musik-musik tradisional yang disajikan para musisis jalanan. Tak heran mayoritas wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta wajib memasukkan Malioboro dalam daftar tempat yang harus didatangi.
Selasa Wage dan Malioboro
Pada 2 tahun terakhir ini, ada nuansa yang berbeda dengan Malioboro. Dimulai pada Hari Selasa, 26 September 2017 berkaitan dengan peringatan hari pariwisata Dunia, totoar di sepanjang Malioboro yang biasanya penuh dengan pedagang kaki lima (PKL) serta deretan toko-toko komersial tampak sepi dan tutup. Tidak nampak satupun PKL yang menggelar dagangannya di sana. Wisatawan asing dan domestik terlihat berjalan dengan leluasa. Malioboro lebih mirip seperti kota mati, tanpa hiruk pikuk transaksi jual beli di tepi jalannya. Ini pertama kalinya Malioboro kosong dari pedagang. Selasa Wage dipilih untuk diistirahatkan dari aktivitasnya sesuai dengan program Pemerintah Kota Yogyakarta.
Pemilihan Selasa Wage pun tidak sembarangan, hari pasaran Jawa itu bertepatan dengan hari lahir Sultan HB X (Suyuti, 2017). Inilah makna filosofis Selasa Wage, sebuah perpaduan antara kearifan lokal, pelestarian budaya dan pariwisata. Berbagai kegiatan digelar disini seperti pertunjukan seni budaya, acara dialog pariwisata dan budaya, pentas gamelan, dan kegiatan seni tradisi lainnya. Bisa jadi konsep ini merupakan perwujudan dari ‘Local Wisdom’ ala Jogja. Sampai saat ini kegiatan Selasa Wage selalu dilaksanakan setiap 35 hari sekali atau istilahnya dalam bahasa Jawa ‘Selapan’ sekali. Kegiatan ini sudah masuk dalam ‘calender of event’ pariwisata Yogyakarta.
Unit Kegiatan Mahasiswa AMPTA Art Generation (AAG) dalam Kegiatan Selasa Wage, Tanggal 6 November 2019